Total Tayangan Halaman

Senin, 13 April 2015

PANCASILA YANG BENAR



GERAKAN MORAL POLITIK MENUJU
KEJAYAAN INDONESIA
 (GMP-MKI)

PANCASILA YANG BENAR

Ditulis oleh: Drs. Sujoko

PENGANTAR

            Judul dari Blog ini : PANCASILA YANG BENAR, mengandung pengertian:
1.      Pancasila mana yang dimaksud dan
2.      Bagaimana memahaminya secara benar.

            Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang berlaku saat ini yang tercantum pada mukadimah UUD 1945–Proklamasi yang disyahkan pada tanggal 18-08-1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Perlu diketahui bahwa kita sempat memiliki Pancasila yang lain, yaitu yang tercantum pada UUD–RIS (Republik Indonesia Serikat) yang berlaku sejak 29-12-1949 s/d 16-08-1950 dan UUDS 50 (Undang Undang Dasar Sementara tahun 1950) yang berlaku sejak 17-08-1950 s/d menjelang DEKRIT PRESIDEN 05-07-1959.

            Pancasila pada UUD-RIS dan UUDS 50 tersebut rumusannya sama, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Perikemanusiaan.
3.      Kebangsaan.
4.      Kerakyatan
5.      Keadilan Sosial.

            Adapun rumusan Pancasila yang berlaku saat ini dan yang menjadi bahasan penulis adalah:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebjaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
5.      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

            Lalu, selanjutnya akan dijelaskan, bagaimana memahami Pancasila secara benar karena memang sudah sejak lama elite politik bangsa (tanpa sadar) tidak mampu memahami Pancasila secara benar dengan akibat sangat fatal seperti kita rasakan selama ini.



MAKSUD PENULISAN       


            Tulisan ini penulis maksudkan sebagai surat terbuka yang ditujukan kepada siapa saja warga bangsa yang memiliki perhatian/kepedulian terhadap kondisi politik Indonesia saat ini yang galau, memperihatinkan dan mengkhawatirkan. Surat terbuka ini penulis sampaikan lewat dunia maya (internet) agar dapat diakses/didapat dengan mudah, cepat dan murah.
           
            Tulisan ini disajikan bersambung disarikan dari 3 buah buku yang berjudul sama Menuju Kejayaan Indonesia yang telah terbit dalam 3 versi ( versi Lengkap-202 halaman, cetakan Juni 2002, versi Intisari-66 halaman + lembar tambahan, cetakan  April 2003, dan terakhir versi Saripati-34 halaman + lampiran 10 halaman, cetakan November 2011 yang publikasinya secara terbuka/umum selalu tertunda dan baru terlakasana lewat tulisan ini.

KATA KUNCI buku berjudul Menuju Kejayaan Indonesia (MKI) ini adalah: Bangsa Indonesia menjadi terpuruk serta kehilangan harga diri dan jati diri (dimata dunia dan dimata dirinya sendiri ) disebabkan elite politik bangsanya (tidak menyadari) tersesat dalam menapaki jalan perpolitikan Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuannya memahami Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi (termasuk Demokrasi Pancasila) secara benar.

            Penyampaian tulisan ini dimaksudkan sebagai realisasi dari suatu Gerakan Moral Politik Menuju Kejayaan Indonesia (GMP-MKI) yang penulis rancang untuk dapat berlangsung sejuk, tertib, damai, konsepsional dan konstitusional.

            Gerakan Moral Politik Menuju Kejayaan Indonesian ini bukan kegiatan terorganisir tetapi gerakan yang bertumpu dukungan spontanitas ( yang muncul dari dorongan nurani) yang diharapkan akan datang dari setiap warga Negara yang baik dan hamba Allah yang taat yang peduli terhadap nasib bangsanya ( yang merindukan kejayaan Indonesia) masa kini dan masa mendatang, sebagai wujud pengabdian kepada bangsanya dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penciptanya.

            Diharapkan GMP ini dapat bergulir sendiri seperti bola salju makin lama makin besar dengan membawa misi kritik, penyadaran, dan pencerahan politik dalam rangka menggapai cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil makmur lahir-bathin dalam naungan ridho Allah SWT/Tuhan YME.


PEMBAHASAN


            Dalam kaitan dengan KATA KUNCI (buku MKI) tersebut kandungan buku versi Saripati (versi terakhir 34 halaman + lampiran 10 lembar) Insya Allah cukup jelas dan cukup mampu membuat politisi Indonesia yang tidak sadar menjadi sadar. Membuat sadar bahwa jalan perpolitikan Indonesia ternyata tersesat. Membuat sadar bahwa ketersesatannya itu ternyata disebabkan oleh ketidakmampuannya memahami Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi (termasuk demokrasi Pancasila ) secara benar. Membuat sadar, bahwa ketidakmampuannya itu bukan karena kemampuannya rendah (banyak diantara elite politik itu adalah pakar). Penyebab ketidakmampuannya itu ternyata adalah karena ada dua pola pikir (agamis) yang mewarnai penyusunan dan mensifati makna Pancasila dan UUD 1945 telah sejak lama (sejak masa-masa awal kemerdekaan) hilang dari percaturan politik Indonesia. Dan ternyata hilangnya pola pikir agamis itu telah berakibat Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi menjadi multi intrepretatif karena kehilangan jiwa dan ruhnya dan yang pemaknaanya menjadi tergantung kepada subjektifitas Penguasa atau siapapun yang terlibat dalam kekuasaan. Akibatnya tentu saja sangat fatal bagi Bangsa dan Negara seperti yang kita rasakan selama ini menjadi galau, memprihatinkan, dan mengkhawatirkan seperti telah disebutkan didepan.

            Lalu pola pikir agamis apa yang sejak lama hilang dari percaturan politik Indonesia. Bagaimana pola fikir agamis itu bisa menghilang dan bagaimana ceriteranya kedua pola pikir agamis itu kini dengan pertolongan Allah SWT/Tuhan YME hadir kembali? Untuk menjawab itu semua, mohon diikuti uraian dalam buku Menuju Kejayaan Indonesia (Seri Saripati tersebut) atau, ikuti dengan seksama tulisan/artikel dalam blog ini.










Daftar Isi


MATERI UTAMA


1.    SILA KE EMPAT PANCASILA


            Pembahasan mengenai Pancasila ini, penulis awali dengan sila ke empat Pancasila yang merupakan azas demokrasi Indonesia (yang menjadi acuan bagi pelaksanaan demokrasi Indonesia).

Mengapa mendahulukan sila ke empat Pancasila sebagai objek bahasan?
Karena pemahaman atas sila ke empat Pancasila inilah yang terutama bermasalah.
Elite politik bangsa tidak mampu memahami makna/maksud sila ke empat Pancasila itu secara benar.

            Akibatnya, pemahaman elite politik atas demokrasi Indonesia (demokrasi Pancasila ) juga menjadi tidak benar. Dampaknya tentu saja sangat besar dan luas karena demokrasi (berkaitan dengan sumber kekuasaan dan penggunaan kekuasaan negara) mempengaruhi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

           
            Kita kutip sekali lagi sila ke-4 Pancasila:
            “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam          permusyawaratan/perwakilan”.

            Mengapa rumusannya begitu panjang? Mengapa tidak: “Kerakyatan” saja seperti yang tercantum pada UUD-RIS dan UUDS’50 atau “Demokrasi” (democracy) saja seperti yang biasa kita kenal di dunia barat.

Sekali lagi, mengapa rumusan sila ke empat Pancasila begitu panjang?
            Karena demokrasi Pancasila memang tidak bersumber dari barat dan tidak mencontoh konsep politik barat.

            Dalam konsep barat yang menganut faham INDIVIDUALISME dan faham SEKULARISME, istilah demokrasi atau kedaulatan rakyat pemahamannya sangat sederhana, yaitu rakyatlah yang mengatur/berkuasa dan rakyatlah yang merupakan sumber dan pemilik kekuasaan Negara sehingga bagi barat berlaku semboyan: VOX POPULI VOX DEI (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan). Dan sesuai dengan faham individualisme tersebut, kata “rakyat” diartikan sebagai perseorangan (individu), sehingga untuk mengetahui suara rakyat “Vox Populi” caranya dilakukan dengan pemungutan suara rakyat secara langsung/voting (dengan berbagai variasi cara).

            Sejalan dengan terpaan globalisasi dan perkembangan reformasi politik Indonesia, celakanya: pemahaman demokrasi barat seperti itu pada era reformasi ini kita terapkan di Indonesia dalam bentuk (diantara lain) Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat yang sangat menguras waktu, dana, tenaga, emosi dan psikis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sebagai presiden terpilih (dalam pemilihan langsung oleh rakyat) tahun 2004 menyebutnya sebagai pemilihan yang ambisius, rumit dan kompleks. Tetapi mengapa elite politik kita pada era reformasi ini memilih sistem barat yang di Indonesia terbukti “ambisius, rumit, dan kompleks” itu? Mengapa elite politik kita dengan semangat menggebu dan mabuk kepayang menikmati sistem politik yang bukan miliknya sendiri?
Jawabannya sederhana:

            Karena tidak mampu memahami makna sila ke-4 Pancasila secara           benar dan telah sejak lama terbius oleh faham barat. (yang difahaminya            sebagai sistem modern)

2.    DEMOKRASI INDONESIA/DEMOKRASI PANCASILA DALAM PENGERTIANNYA YANG BENAR


            Kita tahu, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ini menjiwai sila-sila berikutnya. Artinya Pancasila adalah Ideologi Negara yang sangat agamis sehingga karenanya demokrasi Pancasila/demokrasi Indonesia harus berupa demokrasi yang agamis pula, bukan demokrasi sekuler sebagaimana difahami dalam konsep politik barat yang bersumber dari faham individualisme dan sekularisme.
            Bagaimana kongkritnya demokrasi Indonesia/Pancasila yang agamis itu?
            Inilah uraiannya:
            Rakyat adalah ciptaan/makhluk/creature. Tuhan adalah Maha Pencipta/Al-Khalik/The Creator. Samakah suara rakyat dengan suara Tuhan, samakah suara ciptaan daengan suara Penciptanya? Samakah suara makhluk dengan suara Khaliknya? Tentu saja tidak! Mustahil.
            Atas dasar pemahaman itu, maka:
            Semboyan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) bagi Indonesia tidak berlaku. Demokrasi Indonesia (dalam pengertiannya yang benar) tidak menganut faham itu.
            Demikian pula mengenai sumber dan pemilik kekuasaan/kedaulatan. Sumber dan pemilik kedaulatan adalah Tuhan, bukan manusia/bukan rakyat. Rakyat hanyalah sebagai pemegang, pemegang titipan Tuhan dan karenanya manusia/rakyat harus “amanah” menjaga titipan Tuhan itu. Yang harus diusahakan oleh bangsa Indonesia dalam berdemokrasi adalah bagaimana suara rakyat bisa sejauh mungkin mendekati sura Tuhan (kehendak Tuhan) agar Tuhan berkenan (ridho). Caranya adalah bermusyawarah, tidak ada cara lain kecuali bermusyawarah untuk memperoleh kesepakatan/pemufakatan khususnya dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
            Disamping alasan yang sangat mendasar itu, musyawarah sebagai metoda pengambilan keputusan itu sesuai pula dengan pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk monodualitas (meminjam istilah Prof. Notonegoro) yaitu makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial (sebagai pemahaman yang lazim dianut di Indonesia).
            Catatan:
            Dalam kaitan dengan masalah itu Bung Karno pernah mengemukakan, bahwa yang diartikan dengan kata “rakyat” (dalam ungkapan “kedaulatan rakyat”) bukan rakyat sebagai perseorangan tetapi rakyat sebagai kolektifitas. Dan karena musyawarah itu dilakukan untuk memperoleh keputusan yang mendekati “Suara Tuhan” agar mendapatkan perkenan Tuhan (Ridho Allah SWT) maka musyawarah itu perlu dilakukan dengan bimbingan “hikmat Kebijaksanaan”.  
            Menurut uraian yang disampaikan oleh Bapak DR. Imaddudin Abdurrahim /Bang Imad (dalam suatu acara TV), hikmat/hikmah merupaan perpaduan antara ilmu dan iman. Jadi musyawarah yang dimaksud adalah musyawarah rasional religious, rasional-agamis yang akan mampu menghasilkan keputusan yang baik dan benar yang dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat luas dan kepada Tuhan.
            Dalam lingkup nasional, dalam lingkup Negara, musyawarah diantara seluruh warga Negara/rakyat (yang pada tahun 1945 sudah mencapai ± 70 juta) tentu tidak bisa diselenggarakan secara langsung tetapi harus oleh para wakil rakyat (yang asumsinya mempunyai kualifikasi lebih unggul dari rakyat yang mewakilkannya baik dalam kemampuan intelektual, emosional, maupun spiritual).
            Demikian alur pikir dan pola pikir agamis yang mengantarkan terbentuknya rumusan sila ke-4 Pancasila yang panjang dan spesifik Indonesia yang berbunyi:
            “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam          permusyawaratan/perwakilan”.
            Dan atas dasar pemahaman sila ke-4 Pancasila seperti itu maka UUD 45 Proklamasi menetapkan aturan-aturan dasar berkenaan dengan demokrasi Pancasila/Indonesia sebagai berikut:
1.      Kedaulatan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.
2.      MPR merupakan lembaga tertinggi Negara diatas presiden/kepala Negara dan kepala pemerintahan dan semua lembaga tinggi Negara lainnya.
3.      MPR mempunyai kewenangan
a.       Menetapkan Undang Undang Dasar (UUD)
b.      Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
c.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Catatan:
Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) dengan kedudukan, tugas dan tanggung jawab seperti itu disamping berperan sebagai forum dimana para wakil rakyat dapat bermusyawarah mewakili seluruh rakyat juga dapat berperan sebagai “shock breaker” dan “shock absorber” apabila ada gejolak masyarakat yang potensial untuk destruktif (dari suatu bangsa yang plural dan agamis).

Dan MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia itu terdiri dari DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah dimana DPR mewakili aspirasi politik. Utusan Golongan mewakili aspirasi kelompok-kelompok spesifik (yang memerankan fungsi-fungsi tertentu, khususnya dalam bidang ekonomi dan sosial) serta Utusan Daerah mewakili aspirasi daerah. Ini merupakan sistem multi media (dalam infrastruktur politik) yang akomodatif dan arief bagi Indonesia sebagai Negara kesatuan.

            Seperti itulah pemahaman yang benar dari sila ke-4 Pancasila yang merupakan azas demokrasi Pancasila/Indonesia. Untuk jelasnya berikut ini penulis ulangi:

1.      Metode pengambilan keputusannya adalah musyawarah (untuk mencapai mufakat) yang dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bukan voting (pemungutan suara) dan bukan pula musyawarah sekedar musyawarah yang dibimbing oleh kepentingan masing-masing yang menjurus kepada adu kuat (dan memenangkan yang kuat).
2.      Pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara adalah MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat (rakyat sebagai kolektifitas bukan sebagai orang perorang/perseorangan sebagai faham barat).
MPR mempunyai kewenangan:
a.       Menetapkan UUD
b.      Menetapkan GBHN
c.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden
           
            Sesuai dengan posisi dan kewenangannya, MPR juga dapat berperan sebagai shock breaker dan shock absorber bila terjadi gejolak masyarakat yang berpotensi destruktif bagi Negara.
            Jelas terlihat ada hubungan derivatif (sehingga sangat solid, sangat padu) antara sila ke-4 Pancasila (yang agamis itu) dengan aturan dasar pada batang tubuh UUD 1945 Proklamasi yang berkaitan dengan demokrasi Pancasila/Indonesia (pasal 1 ayat 2, pasal 3 pasal 6 ayat 2).

            Sekali lagi penulis tegaskan, ada hubungan derivatif, hubungan sebab musabab, hubungan asal-muasal bukan sekedarhubungan atas dasar relevansi, signifikansi, dan konsistensi (yang masih bisa diotak-atik).

            Tetapi mengapa pada era reformasi sekarang ini (melalui amandemen UUD 1945 oleh MPR 1999/2004) posisi MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (dengan segala kewenangannya) dihapuskan? Penyebabnya adalah karena anggota MPR 1999/2004 tidak memiliki pemahaman yang benar atas makna sila ke-4 Pancasila.
Bila diibaratkan tindakan medis, amandemen UUD 45 oleh MPR 1999/2004 telah berakibat terjadinya kesalahan therapy akibat kesalahan diagnosa.

            Catatan:
            Kini setelah amandemen, hubungan derivatif itu tidak ada lagi, aturan demokrasi (khususnya mengenai pemilihan langsung) tidak nyambung dengan azas demokrasi (sila ke-4 Pancasila dalam pengertian yang benar).

           




            Nah, sekarang ini setelah kita mampu memahami secara benar (makna sila ke empat Pancasila) serta aturan-aturan dasar yang ditetapkan oleh UUD 45 Proklamasi mengenai demokrasi Pancasila maka kita akan mampu memahami secara benar pula pemahaman-pemahaman terkait yang sangat mendasar, yaitu : Semangat kekeluargaan, Bhineka Tunggal Ika, Hak Azasi Manusia (HAM), Demokrasi dalam ranah Moral dan Prilaku sebagai penulis jelaskan dalam kelanjutan tulisan ini.

            Setelah itu, setelah kita mampu menyadari bahwa Pancasila, UUD 45 Proklamasi dan Demokrasi Pancasila sangat unggul, penulis akan menjelaskan mengapa bangsa Indonesia bisa terpuruk, apa dan siapa yang salah serta bagaimana kita bisa bangkit?

 


3.    KINI KITA MULAI MEMBAHAS SEMANGAT KEKELUARGAAN


            Marilah kita lanjutkan pembahasan kita secara lebih melebar dengan membahas “Semangat Kekeluargaan” serta kaitannya dengan Pancasila dan UUD 45 Proklamasi, Kemajemukan/Pluralisme, Hak Azasi Manusia serta Demokrasi dalam konsep moral dan prilaku.
            Pertama-tama perlu disadari betul, bahwa para pendiri Negara termasuk para perumus Pancasila dan konseptor UUD 45. Proklamasi tidak mewariskan dan  tidak mengamanatkan semangat persaingan ala barat yang bersumber dari faham individualism dan sekulerisme. Yang diwariskan dan diamanatkan adalah semangat kekeluargaan seperti jelas tersurat dan tersirat pada “Penjelasan” UUD 45 Proklamasi berikut ini:
Penjelasan UUD 45 Proklamasi:
……………”yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya Negara, ialah semangat, semangat pemimpin Pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat KEKELUARGAAN apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan Undang-Undang Dasar tadi tidak akan ada artinya dalam praktek……………”.
            (penulisan dengan huruf tebal dan capital oleh penulis).
            Bung Karno menyebutnya Gotong Royong dan sekali-sekali menyebutnya pula kekeluargaan. Sayangnya (karena tampaknya pemahaman dan penghayatan para pendiri Negara termasuk para perumus Pancasila dan UUD 45 Proklamasi atas semangat kekeluargaan sudah sangat kuat, sudah menyatu dalam diri, menjadi bagian dalam hidup) berakibat tidak ada upaya khusus dari beliau-beliau itu untuk menjelaskan secara tertulis apa uang diartikan dengan ungkapan “semangat kekeluargaan dalam pemerintahan dan dalam kehidupan Negara itu”.
            Dalam perkembangannya kemudian (sejalan dengan dinamika dan dialektika politik yang berlangsung dan pengaruh faham barat yang berusaha mengglobal) tanpa terasa/tanpa disadari terjadi erosi dan pencemaran atas semangat kekeluargaan itu dan bergeser/berbelok arah kepada semangat persaingan/semangat adu kuat (yang secara diametral bertentangan dengan semangat kekeluargaan). Pada era reformasi ini, semangat persaingan (yang di Indonesia berkembang pula menjadi semangat kelompok) sudah nyaris sempurna menggantikan semangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan (utamanya dalam ranah politik) konotasinya menjadi negatif akibat ketidakfahaman dan kesalahfaman.
            Karenanya melalui proses perenungan yang cukup lama penulis berupaya untuk mengungkap makna yang dikandungnya. Syukur Alhamdulillah, upaya tersebut tidak sia-sia. Ternyata, semangat kekeluargaan merupakan istilah/ungkapan yang kandungan maknanya sangat dalam, luas dan strategis bagi bangsa Indonesia baik dalam kehidupan kemasyarakatan maupun politik seperti penulis ungkapkan berikut ini.
Makna Semangat Kekeluargaan
            Beranjak dari segi bahasa, kita bisa memaknai semangat kekeluargaan sebagai semangat yang biasa difahami dan dihayati oleh suatu keluarga beriman yang hidup damai dan berbahagia yag selalu berupaya menegakkan rasa kebersamaan, keadilan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa diantara semua anggota keluarga.
            Dalam lingkup bangsa semangat kekeluargaan merupakan puncak kearifan kolektif dari bangsa Indonesia yang plural dan agamis yang dalam kurun waktu yang sangat panjang mengalami nasib yang sama sebagai bangsa terjajah dan berjuang bersama melepaskan diri dari penjajahan.
Semangat kekeluargaan dalam konsep politik Pancasila
            Aturan-aturan dasar yang bertumpu pada semangat kekeluargaan yang harus diimplementasikan dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan telah dituangkan dalam UUD 45 Proklamasi. Artinya UUD 45 Proklamasi memang dirancang (didisain) dengan semangat kekeluargaan dan diperuntukan bagi kehidupan bernegara dan berpemerintahan atas dasar semangat kekeluargaan tersebut.
            Bisa dikatakan bahawa semangat kekeluargaan merupakan bagian integral dari konsep politik Pancasila/Indonesia. Itulah sebabnya dalam “Penjelasan” UUD 45 Proklamasi konseptor UUD 45 mengamanatkan agar para penyelenggara Negara dan pemerintahan menghayati dan mengamalkan semangat kekeluargaan tersebut.
            Catatan:
            Menurut faham barat, “persaingan” adalah adil, yang kuat menang dan yang kalah tersisih. Kompensasinya yang kalah/tersisih diberi santunan dalam bentuk jaminan sosial oleh Negara (dalam rangka pelaksana HAM). Indonesia tidak menganut faham seperti itu, yang lemah tidak boleh           disisihkan tetapi harus diberdayakan. Tentu saja yang sudah tidak bisa diberdayakan dijamin oleh Negara, tetapi bukan atas pertimbangan HAM melainkan karena sudah menjadi kewajiban azasi dari Negara.
            Bagi Indonesia sesehat apapun persaingan difahami sebagai tidak adil karena tidak sesuai dengan semangat kekeluargaan (yang bermakna kebersamaan, keadilan dan keimanan kepada Tuhan YME) dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengagungkan semangat berlomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat).

            Berikut ini penulis sampaikan secara lebih lengkap dan rinci aturan-aturan dasar (serta azas dan nilai) pada UUD 45 Proklamasi yang mengindikasikan (serta memperkuat bukti) bahwa:
            UUD 45 Proklamasi memang dirancang dengan semangat kekeluargaan dan diperuntukan bagi terselenggaranya kehidupan bernegara dan berpemerintahan atas dasar semangat kekeluargaan tersebut.
1)      Dalam kaitan dengan “Trias Politika” UUD’45 Proklamasi tidak menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi prinsip pembagian kekuasaan (division of power).

Contoh: Undang-undang disususn bersama oleh Presiden/Pemerintah dengan DPR. (sekarang sesudah diamandemen sudah berbeda/diubah).

2)      Dianutnya prinsip “check and balances” dan kesetaraan antara berbagai lembaga Negara, khususnya antara eksekutif dan legislatif.

Catatan: Sekarang sesudah diamandemen DPR diposisikan lebih tinggi dari eksekutif sehingga Presiden jadi bulan-bulanan DPR.

3)      Diletakannya titik berat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara Negara pada Presiden (sebagai kepala negara) – concentration of power and responsibility upon the President (sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga negara).

Catatan: sekarang sesudah diamandemen kekuasaan Presiden sudah dikebiri.

4)      Diadakannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai penasehat Negara (penasehat Presiden dalam posisi Presiden sebagai kepala negara).
Catatan: sekarang sesudah diamandemen DPA sudah dihapus.

5)      Dianutnya azas kekeluargaan dalam kehidupan dan kegiatan perekonomian masyarakat serta pemanfaatan sumber alam dan cabang-cabang produksi sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

6)      Adanya penegasan pada Penjelasan UUD 45 Proklamasi, bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan, Negara hukum, Negara demokrasi atas dasar permusyawaratan perwakilan, dan Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Catatan: bukan Negara federal atau mirip federal, bukan Negara hukum atas dasar semangat adu kuat, bukan demokrasi langsung yang setiap warga negaranya dalam 5 tahun harus 4 atau 5 kali ikut pemilu (legislatif 1 kali, Presiden 1 atau 2 kali(2 putaran), dan pilkada 2 kali gubernur dan walikota/bupati) sambil terus-menerus berantem, bukan Negara sekuler yang mengagungkan faham VOX POPULI VOX DEI yang bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila.

7)      Penegasan atas keberadaan hukum adat dan lembaga-lembaga adat.

8)      Penegakan azas pluralisme/Bhineka Tunggal Ika yang bernuansa agamis, bukan pluralism yang bernuansa sekuler yang member peluang kepada kebebasan berbuat dan kebebasan berprilaku yang cenderung meninggalkan moral.

            Dengan tambahan uraian diatas, semoga kini menjadi jelas dan gamblang, bahwa:
·         Semangat kekeluargaan merupakan dorongan bathin  (inner drive) yang merindukan tegaknya rasa kebersamaan, keadilan dan keimanan kepada Tuhan YME bukan hanya dalam kehidupan sosial dan budaya tetapi juga dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan.

·         Semangat kekeluargaan adalah semangat yangmenyatu dengan pilar-pilar kenegaraan Indonesia (Pancasila dan UUD 45 Proklamasi), yang menyatu dengan konsep politik Pancasila dan tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa dalam ranah politik, semangat kekeluargaan adalah konsep politik itu sendiri yang diwariskan oleh para pendiri Negara.

Sangat disesalkan, semangat kekeluargaan (dalam ranah politik) dalam pengertiannya yang benar, asli, otentik dan fundamental seperti itu, sudah sejak lama tidak difahami dan atau disalahfahami dan bahkan sering dilecehkan dan diplesetkan sehingga konotasinya menjadi negatif.
            Ini mengindikasikan, bahwa sebenarnya (tanpa kita sadari kita sebagai bangsa telah mencemoohkan diri kita sendiri. Tanpa kita sadari kita sudah tidak mengenal diri sendiri dan sudah menjadi orang lain. Tanpa sadar kita telah menjadi bangsa yang sakit dan linglung telah kehilangan pijakan dan orientasi, baik orientasi kesejarahan, orientasi kebangsaan dan bahkan orientasi filosofis dan ideologis akibat hilangnya (dari benak politisi Indonesia) pola pikir agamis yang menjadi fondasinya.

            Catatan:

            Karenanya jangan heran kalau dewasa ini hari-hari rakyat kita berantem, politisinya bersilat lidah dan berkomentar ringan dan santai: “itu resiko politik…. biaya demokratisasi”…. amboi, memilukan

 

5.      BHINEKA TUNGGAL IKA


            Sejalan dengan pola pikir agamis serta semangat kekeluargaan seperti telah penulis jelaskan, syukur Alhamdulillah, dengan kearifan luar biasa, para pendiri Negara telah mewariskan prinsip dasar ataupun nilai yang sangat fundamental bagi pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan sangat arief kesadaran akan kemajemukan dan kesadaran untuk menjadikan kemajemukan ini sebagai sumber kekuatan bangsa  maka kemajemukan dalam semangat kekeluargaan ini dikristalkan sebagai semboyan: “Bhineka Tunggal Ika”.

            “Bhineka Tunggal Ika” merupakan ungkapan  kesadaran pluralisme yang bernuansa dan bermotif agamis mangacu pada semanagat pluralisme pada era kerjaan Majapahit. Bhineka Tunggal Ika bukan faham pluralisme yang lahir dari “Humanisme” yang sekuler tetapi dari suatu kearifan politik yang agamis yang lahir dalam persentuhan agama Hindu dan Budha yang cocok dan sejalan dengan pemahaman agama Islam yang antara lain menyebutkan:

·         Manusia diciptakan bersuku-suku/berpuak-puak agar saling mengenal.
·         Perbedaan pendapat adalah rahmat Allah SWT.

6.      HAK AZASI MANUSIA (HAM)


            Berkaitan dengan issu HAM,  perlu diketahui dan disadari, bahwa:
·         Indonesia tidak menganut apalagi mengagungkan HAM seperti difahami oleh barat (seperti pernah ditegaskan oleh Bung Karno). HAM dalam pemahaman barat bersumber dari faham individualisme dan sejalan dengan semangat persaingan/semangat adu kuat.

·         Indonesia mengutamakan Kewajiban Azasi Manusia (KAM) sekalipun dalam UUD 45 Proklamasi tidak secara eksplisit tersurat tetapi secara implisit tersirat, khususnya pada “Mukadimah” UUD 45 yang  mengutamakan kemaslahatan rakyat, bangsa dan dunia. Penuhi dulu kewajiban baru menuntut hak. Prinsip ini juga sejalan dengan ajaran Islam (yang dianut oleh mayoritas warga Negara Indonesia).

·         Yang harus diutamakan adalah terpenuhinya kepentingan bersama secara adil dimana kepentingan perseorangan/individu dijamin tetapi disubordinasikan kepada kepentingan bersama/kepentingan umum/kepentingan bangsa.

·         Dan deklarasi HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights) juga member celah untuk kemungkinan terjadinya perbedaan dalam penerapannya oleh bangsa-bangsa didunia (asal dicantumkan dalam undang-undang). Pemberlakuan HAM memang universal tetapi tidak harus seragam, …”universal does not mean uniform”.

·         Sekalipun Indonesia (UUD 45 Proklamasi) tidak menganut HAM barat (seperti ditegaskan oleh Bung Karno) tetapi UUD 45 Proklamasi (yang hadir tiga tahun lebih dahulu dari Deklarasi HAM PBB pada tahun 1948 sudah menampung hak-hak kewarganegaraan pasal 26, 27, 28, 29 (2), 31, dan 34) yang pencantumannya diusulkan oleh Bung Hatta pada saat UUD 45 Proklamasi masih dalam tahap penyusunan.

           
            Pada bagian depan, penulis telah menguraikan pengertian demokrasi Pancasila/demokrasi Indonesia dalam ranah politik (berupa konsep, norma dan nilai) yang bertumpu kepada pemahaman yang benar atas sila ke-4 Pancasila (sebagai azas demokrasi Indonesia).

            Pada bagian ini penulis merasa perlu membahas makna demokrasi dalam ranah moral dan prilaku. Maksudnya, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan demokrasi dalam wujud pikiran, sikap, ucapan dan perbuatan demokratis.

            Di Indonesia saaat ini (pada era reformasi ini) telah marak pemahaman demokrasi yang “salah kaprah” bahkan bukan sekedar salah kaprah tetapi sudah menjadi keyakinan yang dilakukan dengan semangat menggebu, bahwa demokrasi adalah kebebasan, bebas dalam berfikir, bersikap, berucap, dan berbuat. Silahkan saja amati apa yang sehari-hari terjadi disekitar kita dan bahkan di seluruh nusantara yang bisa kita ikuti lewat berbagai media.

            Apabila kita mengacu pada Pancasila dan UUD 45/pilar-pilar kenegaraan Indonesia dalam pengertiannyayang benar, yang agamis seperti telah penulis bahas, maka seharusnya DEMOKRASI BUKAN KEBEBASAN TETAPI JUSTRU KETERIKATAN, terikat kepada nurani politik rakyat (yang disuarakan oleh pilar-pilar kenegaraan yaitu Pancasila dan UUD 45 Proklamasi dalam pengertiannya yang benar) dan terikat kepada kehendak Tuhan.
           
            Karenanya:
·         Demokrasi Indonesia/Pancasila memerlukan kematangan jiwa.
·         Berpikir, bersikap, berucap, dan berbuat demokratis harus menggambarkan kematangan jiwa itu.

DEMOKRASI PANCASILA ADALAH SUATU KONSEP POLITIK DAN SUATU SIKAP HIDUP YANG BERDIMENSI DUNIA-AKHIRAT
 
.






LUAR BIASA UNGGULNYA DIKAU PANCASILA IDEOLOGI NEGARA BANGSAKU INDONESIA
TERIMA KASIH YAA ALLAH SWT/TUHAN YME ATAS KARUNIAMU KEPADA BANGSAKU TERCINTA INDONESIA

8.      MENGAPA INDONESIA TERPURUK

           
            Mengapa Indonesia yang mempunyai ideology Negara (Pancasila) dan konstitusi Negara (UUD 45 Proklamasi ) termasuk cara berdemokrasi yang demikian unggul bisa terpuruk?

Jawabannya adalah:
           
            Karena elite politik bangsa tidak mampu memahami secara benar   keunggulan Pancasila dan UUD 45 Proklamasi (termasuk Demokrasi        Pancasila).

Mengapa?

            Karena tidak memahami pola pikir agamis serta nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi tumpuan dalam menyusun dan merumuskan Pancasila dan UUD       45 (termasuk Demokrasi Pancasila) tersebut.

Mengapa:

            Karena memang tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Kalau toh ada yang    tahu hanya sepotong-sepotong sehingga kurang bermakna.

Mengapa bisa tidak tahu?
           
            Ceritanya panjang, berakar jauh ke masa silam.

            Dinamika dan dilektika politik Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan sedemikian galau dan kritis sehingga tidak memungkinkan/tidak member celah terjadinya proses sosialisasi dan pewarisan pola pikir agamis dan nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi tumpuan pemikiran serta penghayatan para pendiri Negara dalam merumuskan Pancasila dan UUD 45 Proklamasi termasuk Demokrasi Pancasila di dalamnya.

            Keadaan galau dan kritis itu disebabkan oleh banyak faktor, yaitu:

·         Terjadinya perang kemerdekaan melawan pemerintah kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan berbagai cara: militer, diplomasi dan politik memecah-belah (devide et impera).

·         Terjadinya eforia kemerdekaan yang berbaur dengan berbagai ketidakpuasan yang sebagian berkembang menjadi ekstrim dan separatis (dengan disertai berbagai pemberontakan bersenjata).

·         Adanya tekanan dari pihak Belanda dan tekanan internasional yang bermuara kepada lahirnya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Belanda.

·         RIS berlangsung kurang dari satu tahun yang kemudian (sebagai hasil tuntutan rakyat) Indonesia berubah menjadi Negara Kesatuan (NKRI) tetapi dengan sistem parlementer (seperti halnya RIS) dibawah naungan UUD Sementara tahun 1950 (UUDS ‘50).
Perlu dicatat dan disadari, bahwa UUD-RIS (1949) dan UUDS ’50 (1950-1959) tidak bertumpu pada Pancasila yang asli dan otentik seperti tercantum pada Mukadimah UUD 45 Proklamasi tetap bertumpu pada Pancasila versi lain yang penyusunannya sudah terpengaruh oleh konsep politik barat.

            Demikianlah sangat jelas tergambarkan, bahwa dinamika dan dialektika politk yang berlangsung pada masa lalu itu memang tidak member celah kepada terjadinya proses sosialisasi dan pewarisan pola pikir agamisdan nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi tumpuan penyususnan Pancasila dan UUD 45 yang asli dan otentik itu.

            Dan karena tidak sempat tersosialisasikan  dan terwariskan maka kemudian terkubur dan dilupakan orang. Bahkan buku-buku tentangPancasila pun tidak ada yang memunculkan secara khusus keberadaan pola pikir agamis ini.
           
            Itulah akar masalah, mengapa para politisi Indonesia dan kita semua seluruh warga bangsa selalu saja tidak mampu memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi secara benar. Akibatnya Pancasila kehilangan ruh dan jiwanya, sehingga menjadi multi interpretative dan membuka celah lebar-lebar kepada berperannya subjektifitas elite penguasa dan para pendukungnya.


           
            Dewasa ini, saat keterprurukan bangsa mencapai titik nadir, moralnya bangkrut, budayanya sakit keras dan politiknya tersesat, syukur Alhamdulillah,  bahwasanya pola pikir agamis dan nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi tumpuan dalam penyusunan dan perumusan Pancasila dan UUD 45 (yang sebagian telah sejak lama tidak dikenali dan sebagian lainnya yang masih dikenali disepelekan dan atau dilecehkan) kini telah muncul kembali secara bersamaan dan lengkap sebagaimana diungkap dalam buku ini, (dan dirangkum pada halaman 28, 29, 30).

            Demikianlah, pertolongan Allah telah datang. Bagaimana kita harus menyikapinya sebagai rasa syukur kita itu?

10.  HARUS BAGAIMANA KITA SEKARANG?


            Mari kita pandai-pandai mengambil hikmah dari pengalaman sejarah kemerdekaan selama 62 tahun (s.d tahun 2007) ini.

·         Kita bersyukur telah secara lengkap memahami tiga era kehidupan berbangsa dan bernegara (era Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi) yang bisa menjadi sumber renungan yang sangat lengkap untuk menggapai kearifan-kearifan kolektif dimasa depan sebagai suatu bangsa yang plural dan agamis.

·         Sebagai bangsa kita memang terpuruk tetapi syukur Alhamdulillah, sebagai Negara Indonesia masih tetap tegak sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) suatu bentuk Negara yang dirindukan sejak awal pendiriannya oleh para pendiri Negara.

·         Kita bersyukur, bahwa kesalahan dalam memahami dan mengamalkan Pancasila danUUD 45 Proklamasi (yang bermuara kepada keterpurukan bangsa) terjadi bukan karena kesengajaan, terjdi benar-benar diluar kesadaran akibat ketidakfahaman, kesalahfahaman dan keterbiusan.

·         Bahwa karena kesalahan dalam memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi itu berlangsung tanpa sadar/tidak disengaja maka pada era reformasi itu, reformasi (yang bertemakan anti KKN, demokratisasi, penegakan hukum dan HAM, transparansi dan lain-lain) sebagai upaya mulia yang diniatkan untuk menggapai cita-cita Proklamasi, maka syukur Alhamdulillah, Allah SWT/Tuhan YME telah berkenan menurunkan hidayah-Nya (seperti penulis ungkap pada butir 11).

Hidayah Allah inilah yang akan menghadirkan pencerahan dan penyadaran dalam proses politik di Indonesia.

            Secara lebih rinci, hidayah itu akan membuat para politisi Indonesia.
·         Mampu mamahami Pancasila dan UUD 45 termasuk demokrasi Indonesia secara benar dan mampu memahami keunggulannya.

·         Mampu menghentikan keterbiusannya kepada faham politik dan demokrasi barat (yang selama ini difahaminya sebagai faham modern).

·         Mampu mendengar suara nurani politik rakyat sehingga akan berpihak kepada rakyat dalam amalan politiknya.

·         Mampu menyadari dirinya sebagai makhluk phisik-material dan sekaligus makhluk spiritual yang akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh Tuhan penciptanya atas amalan politiknya.

·         Mampu menjadikan politik sebagai lahan ibadah bukan lahan perebutan kekuasaan dan meteri.

·         Mampu mengembalikan UUD 45 (yang saat ini sudah menjadi sekuler, invalid, rancu, tak berpola dan tidak sistematis) kepada keunggulannya semula serta melengkapi dan menyempurnakannya secara benar.

·         Mampu mensyukuri dan berbangga hati menjalani takdirnya sebagai warga Negara dari bangsa Indonesia yang plural dan agamis sehingga mampu menjadi warga Negara yang baik dan hamba Allah/Tuhan YME yang taat.

·         Mampu menghormati jasa para pahlawan bangsa yan telah mengorbankan jiwa raganya untu tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

·         Mampu menghargai warisan seni budaya leluhurnya yang kaya warna dan kaya nilai yang dapat menyuburkan tumbuhnya budi pekerti luhur.

            Karenanya dengan kerendahan hati penulis menghimbau seluruh warga bangsa khususnya insane politik Indonesia untuk memahami secara baik dan benar kandungan buku Menuju Kejayaan Indonesia ini dan mengamalkannya.


            Kalau selama ini, kesalahan kita berlangsung tanpa kita sadari maka kini, setelah Allah berkenan menurunkan hidayahNya kita menjadi sadar, bahkan sangat sadar, bahwa kita memang ternyata salah, salah dalam menapaki jalan perpolitikan Indonesia. Karenanya, sebagai orang beragama, tobat merupakan suatu keharusan. Mari kita tobat sebenar-benarnya tobat.

            Kita akui dengan tulus kesalahan kita itu, kita sesali sembari mohon ampun kepada Allah disertai tekad untuk tidak mengulanginya dan selanjutnya kita luruskan pemahaman dan pengamalan politik kita untuk mampu menapaki jalannya yang lurus.

            Dengan bermodalkan sikap bathin seperti itu. Insya Allah kita akan mampu mensyukuri hidayah Allah yang telah kita terima itu dan mampu memetik hikmah (dari perjalanan panjang perpolitikan bangsa kita) seperti telah penulis bahas sebelum ini. SEMOGA!

12.  GERAKAN MORAL POLITIK (GMP)

            Seperti telah disinggung pada kata pengantar (Pengantar Penulis), buku berjudul “Menuju Kejayaan Indonesia” (MKI) ini hadir sebagai ujung tombak dari suatu Gerakan Moral Politik (GMP) yang dirancang untuk dapat berlangsung sejuk, tertib, damai, konsepsional, dan konstitusional.

            GMP ini bukan gerakan terorganisir tetapi gerakan yang bertumpu kepada dukungan spontanitas (yang muncul dari dorongan nurani) yang diharapkan akan datang dari setiap warga Negara yang baik dan hamba Allah yang taat yang peduli terhadap nasib bangsanya (yang merindukan Kejayaan Indonesia) masa kini dan masa mendatang, sebagai wujud pengabdiannya kepada bangsanya dan ibadah kepada Tuhan Penciptanya.

            Diharapkan GMP ini dapat bergulir sendiri seperti bola salju makin lama makin besar menjangkau seluruh warga bangsa dengan membawa misi kritik, penyadaran dan pencerahan politik seperti dipaparkan dalam buku MKI ini yang menjadi ujung tombaknya.

13.  HIMBAUAN KEPELOPORAN GENERASI MUDA

            Agar GMP dapat segera bergulir secara sejuk, tertib, damai, konsepsional dan konstitusional, cepat dan selamat, pada kesempatan ini penulis menghimbau kepeloporan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa (mendahului langkah-angkah konstitusional) untuk langsung saja mulai sekarang mengamalkan semangat kekeluargaan dan mengumandangkan ajakan kepada seluruh warga bangsa:

MARILAH KITA HIDUP DALAM SEMANGAT KEBERSAMAAN, KEADILAN DAN KEIMANAN KEPADA TUHAN YME

LETS LIVE IN THE SPIRIT OF TOGETHERNESS, JUSTICE AND TRUST IN GOD

            Apabila suatu saat nanti kita telah mampu mengamalkan semangat kekeluargaan ini (melalui langkah konstitusional) dalam kehidupan bernegara serta mampu menerapkan prinsip berbagi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan (seperti yang dijelaskan pada butir 2 halaman 26) shingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sejuk, tertib, dan damai maka dengan bangga kita dapat berseru kepada dunia internasional:

LET’S LIVE IN THE SPIRIT OF HARMONY, JUSTICE AND TRUST IN GOD

            Himbauan kepada dunia internasional seperti itu sesuai dengan pidato Bung Karno pada Konferensi Asia-Afrika tanggal 18 April 1955 di Bandung dan sesuai dengan jiwa pidato Bung Karno pada Sidang Umum PBB ke-15 pada tanggal 30 September 1960.

            Mari sekarang juga kita lakukan hijrah bathin dari semangat perseorangan/semangat persaingan/semangat adu kuat ke semangat kekeluargaan (dalam pengertian yang benar).

            Wahai generasi muda, rebutlah momentum, tunjukanlah kepeloporanmu saat ini juga dalam membawa bangsa Indonesia kembali menjadi dirinya sendiri, kembali bangga atas pilar-pilar kenegaraannya sendiri (yang asli dan otentik dan dalam pemahaman yang benar), kembali bangga menjalani takdirnya sebagai bangsa Indonesia.

14.  GERAKAN REFORMASI

            Lanjutkan laju Gerakan Reformasi, pertahankan tema dan cita-citanya tetapi bersamaan dengan itu, bawalah Gerakan Reformasi lebih menukik lebih mendasar sehingga mampu menyentuh akar permasalahan bangsa.

            Motivasi awal dan tema Gerakan Reformasi berjalan oleng tidak menentu karena tidak menemukan dan tidak menyentuh akar permasalahan bangsa. Gerakan Reformasi justru memberi penguatan pada visi dan semangat berpolitik modern ala barat akibat dari ketidakfahaman, kesalahfahaman dan keterbiusan.

            Tidak faham dan mensalahfahami keunggulan konsep politik bangsanya sendiri dan terbius oleh keunggulan konsep politik bangsa lain. Akibatnya (tanpa disadarinya) Gerakan Reformasi membuat bangsa ini menjadi bangsa yang lingung/bangsa yang keder yang tidak mengenal dirinya sendiri. Karenanya menjadi kewajian warga bangsa khususnya Generasi Muda untuk menumpukkan Gerakan Reformasi pada tumpuan/landasan yang benar.

            Kehadiran Gerakan Moral Politik (GMP) beserta buku “Menuju Kejayaan Indonesia” yang menjadi ujung tombaknya mudah-mudahan dapat menyelamatkan laju Gerakan Reformasi melalui proses penyadaran dan pencerahan sehingga Gerakan Reformasi dapat melakukan koreksi diri dan penyadaran diri agar dapat melaju mantap pada jalannya yang benar dan bertumpu pada landasan yang benar pula.

15.   MOTTO

Zaman boleh berubah, peradaban boleh mengglobal, tetapi nilai-nilai Ilahiyah harus tetap abadi melandasi pilar-pilar kenegaraan Indonesia dan melandasi sikap hidup bangsa Indonesia.
  





            Demikianlah, telah penulis sampaikan secara cukup gamblang bagian/materi utama berkaitan dengan pemahaman PANCASILA YANG BENAR.

            Berikut ini akan penulis sampaikan bagian/materi pelengkap yang akan memperjelas hal-hal yang sudah dibahas pada bagian utama, dengan judul utama MATERI PELENGKAP dan sub judul sebagai berikut:
1.      PEMBENTUKAN KABINET CARA MODERN
2.      BERBAGI KEKUASAAN
3.      RANGKUMAN POLA PIKIR, PRINSIP DASAR DAN  NILAI AGAMIS YANG MENJADI TUMPUAN DALAM MENYUSUN/MERUMUSKAN PANCASILA DAN UUD45 (termasuk Pancasila didalamnya)
4.      SEKELUMIT MENGENAI KETERPURUKAN BANGSA
5.      PENYEBAR LUASAN BUKU

Selamat membaca, mengkaji, dan merenungkannya.

MATERI PELENGKAP



            Seperti telah dijelaskan di depan pada bagian “Kata Pengantar Dari Penulis”, buku ketiga yang sangat tipis ini penulis maksudkan khusus menyajikan pamahaman yang semestinya (das sollen) berkaitan dengan pilar-pilar kenegaraan Indonesia. Namun demikian agar buku ini masih tetap secara jelas dan tuntas mengusung misi kritik, pencerahan dan penyadaran politik maka pada butir 1 dan 2 MATERI PELENGKAP ini penulis sajikan kembali salah satu dari banyak penyimpangan, yaitu mengenai “Pembentukan Kabinet”, suatu masalah penting dalam penyelenggaraan pemerintahan (dan negara).
Adapun bahasan berikutnyapada butir 3 dan 4 dimaksudkan untuk memperjelas dan mempertegas apa yang sudah dibahas sebelumnya. Terakhir butir 5 khusus membahas Penyebarluasan Buku.

1.      PEMBENTUKAN KABINET CARA MODERN


            Sistem yang difahami dan dipraktekan oleh para politisi di Indonesia selama ini (das sein) dalam membentuk cabinet/pemerintahan adalah suatu sistem yang member peluang kepada pilihan-pilihan sebagai berikut:

1)      Partai yang menang mutlak dalam Pemilu boleh memonopoli kekuasaan dalam kabinet.
2)      Dalam hal tidak ada yang menang mutlak dalam Pemilu dibentuk pemerintahan koalisi oleh partai-partai  yang menghendaki (dan dikehendaki) berkoalisi.
3)      Partai lainnya (yang tidak ikut dalam kabinet) menjadi oposisi.

            Sistem seperti itu difahami sebagai sistem modern dan karenanya selama ini diterapkan di Indonesia. Para politisi Indonesia selama ini tidak menyadari (karena tidak tahu dan terbius) bahwa sistem yang dinilainya modern itu bukan sistem kita, bukan penerapan semangat kekeluargaan, sehingga tidak cocok bagi kita, bukan tidak baik atau buruk tetapi tidak cocok (baik dari segi norma politik maupun dari segi semangat berpolitik). Selama Orde Baru (melalui cara “modern” seperti itu) memang berhasil diciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif tetapi lama kelamaan terjadi pengeroposan dari dalam karena terjadi pengeroposan dari dalam karena kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri.


2.      BERBAGI KEKUASAAN        


            Lalu bagaimana yang semestinya? Bagi Indonesia, yang semestinya adalah sharing dalam kekuasaan secara adil/power sharing secara adil. Istilah yang penulis pilih adalah berbagi kekuasaan (bukan pembagian kekuasaan dan bukan pula bagi-bagi kekuasaan).
            Sejalan dengan pemahaman seperti itu dahulu Bung Karno sudah mengusahakan Kabinet Gotong Royong (yang mengarah kepada berbagi kekuasaan) tetapi tidak berhasil karena sudah terjadi polarisasi kekuatan-kekuatan politik yang saling bertentangan secara tajam dan sebagian daripadanya bersifat ekstrim.

            Pada Era Reformasi, beberapa kali ada upaya membentuk Kabinet dengan keterwakilan luas. Ada yang diberi nama Kabinet Reformasi, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, Kabinet Indonesia Bersatu yang semuanya pada awalnya sempat mendatangkan kesejukan dan optimisme dikalangan rakyat tetapi selanjutnya semuanya berjalan oleng tidak menentu.

            Mengapa?

·      Pertama, karena keterwakilan luas itu terjadi secara terpaksa akibat dari sistem multi partai yang dianut dan tidak ada partai yang memenangkan pemilu secara mutlak.

·      Kedua, karena para politisi era reformasi sudah terbius oleh faham barat, jauh dari pemikiran sharing secara adil.

            Sekali lagi yang penulis tekankan, yang cocok bagi Indonesia adalah prinsip berbagi kekuasaan. Prinsip berbagi kekuasaan menghendaki agar semua kekuatan politik yang secara nyata mempunyai masa pendukung yang cukup signifikan dan yang keberadaannya absah (legitimate) dari segi perundang-undangan ikut berpartisipasi dalam kabinet/pemerintahan dengan “hak partisipasi” sesuai dengan imbangan perolehan suara dalam pemilu/imbangan kekuatan di legislatif. Pola ini merupakan perwujudan “Semangat Kekeluargaan” dalam penyelenggaran pemerintahan (dan Negara).

            MELALUI PENERAPAN PRINSIP BERBAGI KEKUASAAN SEPERTI ITU, MAKA:

·         Dengan demikian mempunyai kendali diri, tidak akan salah arah.
Disamping itu dukungan rakyat akan sangat besar dan luas karena merasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab.

·         Lebih dari itu kabinet akan menjadi tempat terjadinya pertautan dan interaksi dialogis antar berbagai aspirasi, tempat mencari dan menemukan persamaan-persamaan untuk dijadikan dasar kerjasama dan tempat menengarai perbedaan-perbedaan untuk jadi dasar saling menenggang rasa.

·         Dengan demikian dampaknya lebih lanjut kabinet akan menjadi forum terjadinya proses pendewasaan bagi berbagai kekuatan politik dan berlanjut kepada seluruh pendukungnya sehingga dampaknya sangat positif dan konstruktif bagi seluruh bangsa.

·         Sejalan dengan penerapan prinsip berbagi kekuasaan itu maka pemilihan umum bikan ajang persaingan dan adu kuat yang berkecenderungan licik atau curang tetapi merupakan forum dan format paling adil bagi terselenggaranyapartisipasi rakyat dalam politik.

·         Sekalipun tidak ada oposisi (secara melembaga) tetapi pengawasan atas jalannya pemerintahan akan tetap efektif, pertama karena pengawasan sudah melekat pada sistem (built in control), kedua ada pengawasan fungsional oleh DPR, BPK, MA, DPA,dan MPR, ketiga ada pengewasan langsung oleh rakyat melalui pers, LSM dan lain-lain.

KARENANYA JADIKANLAH PRINSIP BERBAGI KEKUASAAN INI SEBAGAI ETIKA POLITIK
   

 

3.      RANGKUMAN POLA PIKIR, PRINSIP DASAR DAN NILAI AGAMIS YANG MENJADI TUMPUAN DALAM MENYUSUN/MERUMUSKAN PANCASILA DAN UUD 45 (termasuk Demokrasi Pancasila didalamnya)


1)      Tidak menganut faham Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan).
     
      Yang dianut, bagaimana suara rakyat bisa mendekati kehendak       Tuhan YME/Allah SWT agar Allah ridha/berkenan.

2)      Tidak menganut faham bahwa rakyat sebagai sumber dan pemilik kedaulatan.

      Yang dianut, sumber dan pemilik kedaulatan adalah Tuhan, Rakyat            hanyalah pemegang kedaulatan (kekuasaan) sebagai titipan Tuhan.

3)      Tidak menganut faham bahwa yang diartikan denga “rakyat” adalah individu/perseorangan.

      Yang dianut adalah, bahwa rakyat merupakan kolektifitas, rakyat    sebagai kolektifitas.

4)      Tidak menganut faham bahwa manusia merupakan makhluk individu/pribadi.

      Yang dianut adalah, bahwa manusia merupakan makhluk     monodualitas (makhluk individu/pribadi dan sekaligus makhluk      sosial).

5)      Tidak menganut Hak Azasi Manusia versi barat.

      Indonesia punya pemahaman sendiri (versi Pancasila) dimana          HAM harus disubordinasikan kepada hak kolektif masyarakat, bangsa dan dunia. Yang dianut oleh Pancasila/Indonesia adalah       KAM (Kewajiban Azasi Manusia) sekali tidak tersurat pada           UUD’45 tetapi jelas tersirat didalamnya.

      Setiap orang/pribadi/individu mempunyai kewajiban (yang bersifat fitrah/anugerah Allah) untuk berbuat baik kepada dirinya,         masyarakatnya, bangsanya dan bangsa-bangsa lain di dunia,       bahkan semua makhluk di muka bumi.

      Dalam pemahaman seperti ini, HAM (Hak Azasi Manusia) bukan    persoalan dan tidak perlu dipersoalkan (apalagi diagungkan) karena            sudah terjamin aman (secara proporsional bukan berlebihan) dalam kehidupan bangsa yang menegakkan kebersamaan, keadilan dan      keimanan kepada Tuhan YME/Allah SWT.
 
6)      Tidak menganut faham Pluralisme/keragaman/kemajemukan versi barat yang lahir dari humanism yang satu paket dengan HAM (versi barat pula) yang sering kali dijadikan dalih untuk member toleransi secara berlebihan (serba permisif) atas perbedaan pendapat.

      Yang dianut adalah pluralisme yang lahir dari nilai Ketuhanan/nilai             Ilahiyah/nilai agama* yang karenanya harus selalu dibatasi oleh         nilai agama tersebut (bukan oleh nilai kemanusiaan yang tidak       steril terhadap nafsu dan selera)
      *nilai agama bukan ajaran agama.

            Demikian pula dalam kaitan dengan keragaman dalam tubuh bangsa (suku,             bahasa, budaya/adat dan lain-lain) termasuk keragaman dalam keyakinan        agama difahami dan dihayati sebagai Rahmat Allah SWT/Tuhan YME   yang harus kita syukuri. Adalah suatu kearifan luar biasa menjadikan          ungkapan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan Negara.

7)      Tidak menganut semangat perseorangan/semangat persaingan/semangat adu kuat (yang di Indonesia telah berkembang menjadi semangat kelompok) baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.

      Yang dianut adalah semangat kekeluargaan yang berintikan          kebersamaan, keadilan, dan keimanan kepada Tuhan YME. Seperti telah dijelaskan secarapanjang lebar pada bagian depan       buku ini.


4.      SEKELUMIT MENGENAI KETERPURUKAN BANGSA


          Yang terpuruk adalah Indonesia, Indonesia sebagai bangsa dan Negara (yang merdeka dan berdaulat), bukan perorangannya. Perseorangannya banyak yang hidup senang dan bahkan mewah ditengah keterpurukan bangsa saat ini. Siapa? Umumnya mereka pemegang kekuasaan, mereka yang terlibat dalam kekuasaan dan mereka yang mempunyai sumber daya (alam, dana dan IPTEK).

          Sekali lagi yang terpuruk adalah bangsa dan Negara Indonesia.

Indikasi keterpurukan ini sangat jelas.

1)    Dari segi gejala moral, budaya dan politik tersirat dari ungkapan barnas berikut ini.
·         Budaya sakit keras.
(Tidak malu untuk melakukan hal yang memalukan)
           DR. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., dalam bukunya Renik-   Renik Peradaban.

·         Moralnya bangkrut.
(Tidak merasa salah untuk hal yang jelas salah)
           DR. Nurcholis Majid pada suatu acara TV.

·         Politiknya tersesat.
(Karena tidak mampu memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi secara benar).
           Sujoko, penulis buku MKI.

2)    Dari segi gejala yang lebih terukur.
Tingginya angka kemiskinan/pengangguran/kebodohan/penderita penyakit/gizi buruk/pecandu narkoba/kejahatan/kerusakan lingkungan dan sumber daya alam/utang luar negri yang sangat besar/KKN/mafia peradilan dan lain-lain.

Dalam hal yang negatif tersebut Indonesia menempati peringkat papan atas diantara bangsa-bangsa di dunia.




3)    Dari segi gejala paradoksal.
Diantara warga bangsa, yang terpuruk adalah rakyat, bukan wakil rakyat, bukan pula yang mengurusi rakyat ataupun mereka yang berjuang untuk rakyat dan mengatasnamakan rakyat.

Diluar rakyat semuanya hidup berkecukupan (secara material) dan sebagian justru hidup berlebihan, mewah dan kaya raya
.
Suatu gejala paradoksal yang sangat ironis dan tragis antara rakyat di satu sisi vs wakil rakyat/pengurus rakyat/pembela rakyat disisi lain.

Gejala paradoksal ini seharusnya tidak terjadi seandainya para wakil/pengurus/pembela rakyat mampu mendengar suara nurani politik rakyat (yag diwakili oleh ideologi dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 45 Proklamasi dalam pemahamannya yang benar).

4)    Dari segi konstitusi.
Ketidakmampuan memahami pilar-pilar kenegaraan secara benar merupakan krisis yang sangat parah dan sekaligus akar dari krisis multi dimensi yang sudah berlangsung cukup lama dan bermuara kepada keterpurukan bangsa.

Pada era reformasi, gejala keterbiusan kepada faham-faham politik barat mencapai kulminasi, bangsa Indonesia  (tanpa sadar) mengidap krisis konstitusi karena (setelah diamandemen) UUD 45 menjadi sekuler, invalid, rancu, tidak berpoladan tidak bersistematika yang karenanya secara substansi sudah tidak layak lagi disebut UUD 45.

Maka (mengingat kondisi1),2),3)dan 4) sempurnalah keterpurukan Indonesia sebagai bangsa dan sebagai Negara.

            Demikianlah sekelumit uraian mengenai gejala keterpurukan yang melanda bangsa, suatu keterpurukan yang sudah melewati ambang batas yang menjadi motivasi hadirnya Gerakan Moral Politik (GMP) ini dengan buku Menuju Kejayaan Indonesia (MKI) sebagai ujung tombaknya.

5.      PENYEBARLUASAN BUKU

            Sesuai dengan sifat dan tujuan Gerakan Moral Pancasila (GMP) seperti dijelaskan pada butir 14 halaman 21 maka penyebarluasan buku ini dilakukan secara langsung, tidak mlalui took buku.

            Buku berjudul “Saripati Buku Menuju Kejayaan Indonesia” ini dupayakan setipis mungkin untuk merangsang minat baca semua lapisan masyarakat dan untuk bisa diperoleh dengan harga semurah mungkin, seandainya saya selaku penulis buku ditakdirkan kaya ingin rasanya mencetak satu juta buku buku unu\tuk dibagikan gratis kepada siapa saja yang berminat membacanya. Tapi apa daya……….tidak ada kemampuan untuk itu.

            Karenanya perkenankan dengan ini penulis mengundang dengan penuh harap kepada siapa saja yang kebetulan mempunyai keleluasan rizki untuk berkenan mengambil alih tanggung jawab tersebut secara bergotong royong, misalnya masing-masing 1000 buku atau lebih.

            Harapan penulis ini mungkin berlebihan tetapi siapa tahu, demi Kejayaan Indonesia dan demi tugas yang sangat mulia ini banyak hartawan yang dermawan dan patriotik yang berkenan menyambut harapan penulis ini.

             Tentu saja disamping cara-cara yang sifatnya terbatas dan khusus seperti itu terbuka kesempatan leluasa bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi dengan berbagai cara sederhana seperti berikut ini:

1)      Pertama melalui “hadiah-berantai”. Setelah anda membaca dan anda merasa terpanggil untuk ikut menyebarluaskan, hadiahkanlah kepada anggota keluarga/saudara/sahabat/kenalan/teman sekantor/teman seorganisasi/teman seprofesi, apa saja yang anda pilih diantara mereka, satu, dua, atau lebih buku sesuai dengan keinginan anda. Dan mereka yang menerima hadiah buku itu sekiranya juga merasa terpanggil untuk berpartisipasi, lakukanlah hal serupa seperti itudan demikian seterusnya secara berantai.
2)      Kedua, anda bantu lingkungan anda (tetangga/teman dan lain-lain) dengan melakukan pembelian secara kolektif (50 buku atau lebih) sehingga anda dapat membantu banyak orang mendapat buku dengan harga lebih murah dan cara lebih nyaman.
3)      Ketiga, anda beli 50 buku atau lebih dan anda jual secara eceran dengan harga eceran tetap murah (dengan keuntungan sekedarnya).

            Bersamaan dengan itu, penulis juga mengundang semua warga bangsa yang mempunyai kepedulian terhadap nasib bangsa dan mempunyai potensi dan posisi strategis seperti para tokoh masyarakat, agamawan, budayawan, seniman, cendekiawan, ilmuwan, Pers/media massa, LSM, dan lain-lain untuk berkenan mendalami kandungan buku kecil dan tipis ini serta sekiranya setuju dengan kandungannya ikut mempromosikan kehadiran dan misi mulia dari buku ini.

Terhadap para politisi Indonesia (praktisi dan ilmuan politik) penulis mempunyai optimism yang besar atas kemurnian tekad dan tujuan perjuangannya. Para politisi Indonesia akan dengan sendirinya bergegas melakukan perenungan, mawas diri dan koreksi diri serta sadar diri  untuk mampu menapaki jalan perpolitikan Indonesia yang lurus, yang benar seperti digariskan oleh pilar-pilar kenegaraan Indonesia dalam pengertiannya yang benar. Untuk itu tentu saja politisi Indonesia perlu membaca buku Menuju Kejayaan Indonesia selengkapnya, versi tebal/lengkap, versi tipis/Intisari dan versi sangat tipis/Saripati agar mampu menjalankan perannya sebagai politisi Indonesia secara benar.

Masalahnya sangat sederhana, yaitu bahwa untuk menggapai Kejayaan Indonesia tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia kecuali kembali menjadi dirinya sendiri, hormat kepada leluhur pendiri negaranya dan pejuang kemerdekaan bangsanya serta taat kepada Allah SWT/Tuhan penciptanya.


Informasi Pesanan Buku

Untuk sementara buku dilayani pada alamat:
Jl. Gegerkalong Lebak No.33 Bandung (40153)
Telepon/Fax. (022) 2012356


Harga per pak/doos @ 50 buku Rp 350.000,-
            Mudah-mudahan alamat tersebut benar-benar untuk sementara karena pada dasarnya penulis ingin menyerahkan misi penyebarluasan buku ini kepada pihak lain. Karenanya siapa saja (perseorangan, organisasi, atau badan hukum) yang berminat untuk berperan sebagai “mesin penggerak” dalam upaya menyebar luaskan buku ini (secara murah, mudah dan tertib) dipersilahkan menghubungi penulis untuk membicarakannya. Mudah-mudahan ada yang merasa tertantang karena sifatnya spesifik, mulia dan monumental. Penulis sendiri (sekiranya Allah berkenan) ingin tetap fokus pada tugas mengamati, merenungi, menulis dan menjelaskan apa yang ditulis.

            Akhirnya, saya selaku penulis buku menanti tanggapan, kritik dan saran. Bahkan sekiranya waktunya tersedia penulis akan merasa senang untuk diajak bersambung rasa seputar kandungan buku ini.
Marilah kita berlomba berbuat kebajikan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia tercinta, menggapai kejayaannya dan sekaligus menggapai ridho Illahi. Amiin.


LAMPIRAN


1.  NASKAH PELUNCURAN BUKU:

 “SARIPATI BUKU MENUJU KEJAYAAN INDONESIA”



2.  NASKAH: TUJUAN GERAKAN MORAL POLITIK (GMP) MENUJU KEJAYAAN INDONESIA (MKI)


 
Gerakan Moral Politik
Menuju Kejayaan Indonesia


Naskah Peluncuran Buku

Saripati Buku
Menuju Kejayaan Indonesia

Wahai kanda, dinda dan nanda
Seluruh elite bangsa yang saya hormati

Assalamu’alaikum wr wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.

            Sudah banyak pendapat dan analisa berkaitan dengan penyebab keterpurukan yang sudah lama menimpa bangsa Indonesia. Secara umum dikatakan, Indonesia terpuruk akibat adanya krisis multidimensi yang dialaminya. Tetapi atas pertanyaan mengapa krisis multi dimensi ini terjadi, jawabannya beragam, bertumpu kepada sudut pandang masing-masing.
Dilatarbelakangi oleh keinginan memunculkan akar penyebab (prima kosa) dari terjadinya keterpurukan bangsa yang berkepanjangan dan makin parah saat ini, maka Saya:

            Nama               : Sujoko
            Alamat                        : Jalan Gegerkalong Lebak Raya No. 33 Bandung 40153
            Pekerjaan         : -  Pensiunan PNS
-       Dosen Pancasila pada Akademi Teknologi Pulp dan Kertas di Bandung
-       Mantan Dosen STIA-LAN RI. Kampus Bandung

dengan memohon ridho Allah SWT/Tuhan YME, perkenankan hari ini meluncurkan satu buku politik (yang kecil dan tipis) dengan kandungan yang luar biasa penting bagi bangsa Indonesia untuk bisa bangkit dari keterpurukannya saat ini, berjudul : “Menuju Kejayaan Indonesia” (versi Saripati).
Buku tersebut selesai dicetak Januari 2008 dan sedianya akan segera dipublikasikan, namun karena situasi politik yang tidak kondusif, maka publikasinya terpaksa ditunda.

            Buku ini bukan karya ilmiah dari seorang ilmuwan politik ataupun praktisi politik tetapi hasil renungan dari seorang kakek (per 2 September 2011) berusia 75 tahun, pensiunan pegawai negri sipil, seorang warga Negara non partisan yang tidak mempunyai kepentingan politik apapun kecuali merindukan kejayaan Indonesia.

KATA KUNCI BUKU INI: Bangsa Indonesia menjadi terpuruk serta kehilangan harga diri dan jati diri (di mata dunia dan di mata dirinya sendiri) , disebabkan elite politik bangsanya (tidak menyadari) tersesat dalam menapaki jalan perpolitikan Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuannya memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi (termasuk demokrasi Pancasila/demokrasi asli Indonesia) secara benar.

            Elite politik Indonesia tidak mampu memahami Pancasia dan UUD 45 Proklamasi secara benar bukan karena tidak pandai. Elite politik Indonesia jelas orang-orang pandai dan banyak diantaranya berpredikat pakar. Namun demikian, pemahamannya atas Pancasila dan UUD 45 Proklamasi menjadi salah disebabkan ada pola pikir agamis dan nilai-nilai Ilahiyah (yang sebenarnya merupakan tumpuan dalam penyusunan/perumusan Pancasila dan UUD 45 Proklamasi) tidak sempat mereka ketahui karena sudah lama menghilang dari percaturan politik Indonesia.

            Menghilangnya pola pikir agamis dan nilai-nilai Ilahiyah yang merupakan mutiara politik Indonesia itu sudah berlangsung sejak masa-masa awal kemerdekaan. Karenanya sudah sejak masa itu pula (tanpa kita sadari) Pancasila sudah kehilangan “ruh dan jiwanya” dan menjadi multi interpretatif sehingga keunggulannya sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa memudar dan bias. Akibatnya perpolitikan di Indonesia tidak pernah sehat, selalu saja sakit.

            Disisi lain, bersamaan dengan kondisi seperti itu, banyak diantara generasi muda politisi Indonesia dalam studi politiknya sudah sejak lama “berkiblat” ke barat (yang memang sudah lebih mapan sehingga mereka melihat banyak keunggulan pada konsep politik barat itu) yang kemudian dalam perkembangannya bermuara kepada keterpesonaan dan keterbiusan kepada keunggulan paham politik barat itu. Dapat dipahami, bahwa (sejalan dengan era globalisasi dan sejalan dengan upaya barat untuk mengglobalkan pengaruh barat itu), pada era reformasi arus politik sangat deras menuju barat.

            Dan kini, setelah UUD 1945 Proklamasi diamandemen (dengan pola pikir yang salah, cara yang salah dan semangat yang salah sehingga menjad UUD 45 yang sekuler, invalid, rancu, tidak berpola dan tidak sistematis) bangsa indonesia, khusunya elite politiknya disamping sakit juga menjadi “keder alias linglung atau limbung” akibat rancu diri. Hati nuraninya “timur” tetapi pikirannya “barat”. Hari-hari rakyatnya merintih tanpa daya menanti datangnya keadilan sementara elite politiknya (yang keder itu) dengan semangat menggebu sibuk mencari solusi (dengan mengedepankan kepentingan masing-masing) atas berbagai masalah yang terus bermunculan tanpa henti akibat kesalahan yang sangat mendasar yang (tanpa disadari) diciptakan sendiri.
Gerakan Reformasi yang menampilkan tema-tema bagus (anti KKN, demokratisasi, transparansi, penegakan hukum dan lain-lain) yang semula menyembulkan harapan yang demikian besar akhirnya berjalan oleng tidak menentu. Penyebabnya adalah karena (tanpa disadari) Gerakan Reformasi tidak ditumpukan pada pemahaman yang benar atas Pancasila dan UUD 45 Proklamasi.

            Syukur Alhamdulillah, kini pada saat keterpurukan bangsa sudah mancapai titik nadir, pada saat norma dan etika sudah jungkir-balik, pada saat budaya bangsa sudah sakit keras, moralnya bangkrut dan politiknya tersesat, sekali lagi syukur Alhamdulillah Allah SWT/Tuhan YME telah berkenan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada bangsa Indonesia tercinta yang plural dan agamis ini. Mutiara politik yang telah lama terkubur dan menghilang dari benak bangsa, kini telah kembali menampakan diri dalam wujudnya yang utuh seperti dipaparkan secara gamblang dalam buku yang saya luncurkan hari ini dan buku-buku sebelumnya (versi Lengkap dan versi Intisari).
    
            Melalui proses perenungan atas kandungan buku tersebut kita akan mampu memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi secara benar sehingga kita akan mampu memahami dan menghayati keagungan dan keunggulan Ideologi dan Konstitusi negara kita. Terjadi pencerahan! Keunggulan dan Keagungan itu bukan lagi retorika atau slogan ataupun buah bibir (lip service), tapi nyata difahami dan dirasakan/dihayati.

            Lebih lanjut, insya Allah akan hadir dengan sendirinya kesadaran bahwa ternyata selama ini tanpa kita sadari kita telah salah jalan, kita telah tersesat. Kita akan faham mengapa bangsa ini sakit, mengapa terpuruk, mengapa elite bangsanya menjadi keder. Dan mengapa pula rakyat sebagai pihak yang berada diluar kekuasaan selalu saja menjadi objek kekuasaan yang terdzalimi.
Dan dengan hadirnya kembali berbagai kesadaran yang sebelumnya tidak kita sadari itu maka dari segi ideologi dan politik kita akan kembali menjadi bangsa yang sehat, sehat wal’afiat.
Dan dalam kondisi sehat seperti itu, insya Allah kita tidak akan lagi saling menyalahkan karena sadar, bahwa kita semua ternyata salah. Kita tidak lagi mencoba mencari “kambing hitam” diantara kita karena kita sadar “kambing hitam” itu adalah diri kita sendiri.
Kita akan meyakini bahwa dalam ketersesatan politik (yang berlangsung tanpa kita sadari itu) semua elite bangsa, khusunya para pemimpinnya sudah berusaha memberikan pengabdian terbaiknya bagi bangsa Indonesia yang dicintainya. Dan dalam konteks global kita tidak lagi akan mempertentangkan faham barat dengan faham timur. Tidak lagi mencari mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Yang akan kita yakini adalah bahwa barat cocok untuk barat, timur cocok untuk timur dan konsep politik Pancasila dan UUD 45 Proklamasi (dalam pengertiannya yang benar) adalah cocok (bahkan unggul) untuk kita bangsa Indonesia.

            Apabila bangsa Indonesia ini diibaratkan pohon maka sumber penyakit yang menerpa pohon tersebut berada pada akarnya. Karenanya mari kita fokus pada upaya menyehatkan akar. Dan kini obat untuk menyehatkan akar yang sakit itu Alhamdulillah sudah tersedia.
Dalam konteks bangsa, kita harus fokus pada upaya menyehatkan pemahaman kita atas Ideologi Negara Pancasila khususnya sila ke-4. Dan petunjuknya telah tersedia seperti yang dijelaskan pada buku Menuju Kejayaan Indonesia tersebut. Yang diperlukan adalah kerendah-hatian untuk bersedia membaca bukunya dan merenungkan kandungannya. Melalui kerendah-hatian (tawadhu) ini insya Allah proses penyadaran diri akan terjadi dengan sendirinya.
Masalahnya sangat sederhana, yaitu bahwa untuk menggapai Kejayaan Indonesia tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia kecuali kembali menjadi dirinya sendiri, hormat kepada leluhur pendiri negaranya dan pejuang kemerdekaan bangsanya, menjunjung tinggi warisan adhi luhungnya (bagus dan agung) serta taat kepada Allah SWT/Tuhan YME Penciptanya, menjadi bangsa yang tidak rancu diri dan bangga menjalani takdirnya sebagai bangsa Indonesia.

            Bagaimana dengan Gerakan Reformasi? Silahkan jalan terus karena tema-tema Gerakan Reformasi bagus-bagus tetapi arahnya perlu diluruskan dan tumpuannya perlu dikoreksi. Maksudnya paradigma, prinsip dasar dan nilai yang ingin dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu ditumpukan pada poros paradigma yang benar. Artinya Gerakan Reformasi perlu melakukan koreksi diri secara mendasar. Perlu melakukan koreksi pada tingkat filosofi gerakan sehingga tema-tema yang bagus itu (anti KKN, demokratisasi, keterbukaan, penegakan hukum dan HAM dan lain-lain) akan dapat diterapkan dan diamalkan secara benar sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi bangsa. Dan filosofi gerakan itu tidak bisa lain kecuali Pancasila dalam pegertiannya yang benar. Dan alangkah mulianya apabila upaya-upaya untuk menjadikan Pancasila dalam pengertiannya yang benar itu sebagai satu-satunya tumpuan (poros paradigma) bagi Gerakan Reformasi dipelopori atau minimal didukung oleh para tokoh garda depan Gerakan Reformasi itu sendiri.

            Bahwa UUD 45 Proklamasi terlalu singkat adalah fakta. Karenanya harus dilengkapi dan disempurnakan (seperti pernah dipesan oleh Bung Karno) bukan diubah dan dibelokan arahnya.
Karenanya amandemen-ulang atas UUD 45 ini merupakan kewajiban fundamental yang mutlak harus dilakukan. Dan bagi para cendekiawan politik yang telah berhasil melakukan “amandemen diri” sehingga mampu memahami Pancasila dan UUD 45 dalam pengertiannya yang benar maka pekerjaan amandemen-ulang atas UUD 45 akan dapat dilakukan dengan baik dan cepat. Dan insya Allah akan terbukti, bahwa keberhasilan amandemen-ulang atas UUD 45 yang masih multi cacat saat ini akan menjadi tonggak sejarah menuju Kejayaan Indonesia.

            Demikian, dengan pengantar yang lugas dan tuntas tersebut dan dengan ucapan bismillahirrahman nirahiim buku politik berjudul “Menuju Kejayaan Indonesia” (versi Saripati) ini saya luncurkan untuk menghampiri setiap diri yang merindukan Kejayaan Indonesia.
Dan demi suksesnya Gerakan Moral Politik ini, bersama ini saya sertakan satu naskah yang merinci niat baik dan kemuliaan tujuan Gerakan ini berjudul “TUJUAN GERAKAN MORAL POLITIK (GMP) MENUJU KEJAYAAN INDONESIA (MKI)”.
Semoga lindungan Allah SWT/Tuhan YME menyertai kita semua dan seluruh warga Bangsa Indonesia. Amiin


Bandung, 02 September 2011
                                                                                    Wassalam

Sudjoko

Gerakan Moral Politik
Menuju Kejayaan Indonesia


TUJUAN GERAKAN MORAL POLITIK (GMP)
MENUJU KEJAYAAN INDONESIA (MKI)


          Tujuan dari GMP yang saya gerakan (dalam kapasitas saya sebagai pribadi dan warga Negara non partisan) yang saya desain untuk dapat berlangsung secara santun tertib, damai, konsepsional dan konstitusional (dan yang bertumpu pada buku berjudul “Menuju Kejayaan Indonesia” versi Lengkap, versi Instisari dan versi Saripati) adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini.

I.       Meluruskan jalan perpolitikan Indonesia yang saat ini sudah jauh melenceng dari yang semestinya akibat dari ketidakmampuan para pemimpin bangsa dan elite politik pada umumnya memahami Pancasila dan UUD 45 Proklamasi secara benar. Ketidakmampuan elite politik memahami pilar-pilar kenegaraan seperti itu (yang telah berlangsung tanpa disadari) adalah akibat dari telah hilangnya, terlupakannya (sejak lama) dua pola pikir agamis yang telah mewarnai penyusunan dan mensifati Pancasila dan UUD 45 Proklamasi. Terlupakannya dua pola pikir agamis itu oleh para politisi kita berakibat Pancasila dan UUD 45 Proklamasi menjadi multi interpretatif, kahilangan jiwa dan ruhnya dan telah berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

II.    Menunjukan berbagai penyimpangan yang telah terjadi, baik dalam semangat berpolitik, konsep politik maupun praktek politik (sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga dewasa ini) serta berbagai dampak buruknya yang bermuara kepada keterpurukan bangsa (politiknya tersesat, moralnya bangkrut dan budayanya sakit keras). Puncak penyimpangan yang sangat tragis adalah amandemen UUD 45 oleh MPR 1999/2004. MPR pertama era reformasi ini telah melakukan amandemen atas konstitusi Negara dengan (tanpa disadarinya) semangat yang salah, pola pikir yang salah dan cara yang salah. Akibatnya UUD 45 menjadi sekuler, invalid, rancu, tidak berpola dan tidak sistematis.

III. Menunjukan kepada seluruh bangsa apa yang penulis maksud sebagai dua pola pikir agamis (yang juga penulis sebut  sebagai mutiara politik Indonesia) yang telah lama hilang dan terlupakan. Informasi tersebut penulis rangkai dengan uraian bagaimana dahulu dihayati oleh para pendiri negara, bagaimana kemudian menghilang dan terkubur/dilupakan orang, bagaimana kaitannya dengan jalan perpolitikan Indonesia (yang tersesat) yang menyeret bangsa kepada keterpurukan dalam semua aspek kehidupan. Dan tidak ketinggalan penulis juga menjelaskan bagaimana mutiara politik yang telah lama terpendam itu secara tidak terduga mendadak terbersit secara mengesankan pada memori penulis di awal era Reformasi pada sekitar tahun 1998. Dan hadirnya kembali mutiara politik itu secara menakjubkan telah menguatkan lagi ruh dan jiwa Pancasila dan UUD 45 Proklamasi dan siap memberikan pencerahan politik secara mendasar, rasional, baik, benar, serta langgeng kepada seluruh warga bangsa.

IV. Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada seluruh warga bangsa, bahwa para pemimpin bangsa sejak masa lalu hingga kini (era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Reformasi) semuanya telah berusaha dengan sekuat tenaga dan penuh pengabdian dan pengorbanan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Namun banyak upaya, kerja keras dan pengorbanan beliau-beliau itu menjadi kontra produktif dilihat dari kepentingan bangsa secara keseluruhan yang diakibatkan (tanpa disadari) oleh adanya kesalahan mendasar dalam memahami Ideologi dan Konstitusi negara seperti telah dijelaskan diatas (butir I). Karenanya tidak ada alasan apapun bagi kita saat ini (dan seterusnya) untuk saling menyalahkan antar generasi, antar kelompok ataupun antar aspirasi dalam kaitan terjadinya keterpurukan bangsa. Perlu disadari betul, bahwa ternyata (tanpa kita sadari) kita semua khususnya yang terlibat dalam manajemen negara telah salah (langsung atau tidak langsung, besar atau kecil, berat atau ringan) dalam memahami hal yang mendasar (Ideologi dan Konstitusi negara) sehingga berakibat fatal dan korbannya adalah rakyat (yang menjadi objek kekuasaan) sebagai mayoritas warga bangsa dan sebagai pemilik yang syah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Sikap terpuji (yang diharapkan oleh rakyat dan akan melegakan rakyat sebagai pihak yang sering kali terdzalimi) adalah kerendah-hatian (tawadhu) elite bangsa, khususnya elite politik untuk mampu mawas diri dan selanjutnya bersikap positif dan konstruktif bagi kepentingan seluruh warga bangsa.
Kita (utamanya para politisi Indonesia) memang tidak seujung rambutpun berniat dzalim kepada rakyat tetapi pada kenyataannya (tanpa kita sadari) kedzaliman itu benar-benar terjadi. Demikian pula dalam kaitan dengan keterpurukan bangsa, keterpurukan itu nyata dan terjadi. Bahkan lebih lanjut, akhir-akhir ini murka Tuhan kepada bangsa ini sudah sangat jelas. Disamping musibah politik yang berlanjut kepada musibah sosial, budaya dan kemanusiaan pada umumnya seperti disampaikan pada butir II, murka Tuhan sudah semakin jelas lewat berbagai bencana alam yang terjadi dimana-mana. Bertubi-tubi azab Allah SWT secara nyata dipertontonkan. Masihkah kita akan berdalih atau berkelit?
V.     Menunjukan jalan bagaimana bangsa ini harus melangkah secara santun, tertib, damai, konsepsional dan konstitusional untuk bisa bangkit dari keterpurukan, melepaskan diri dari berbagai pola pikir, paradigma, nilai dan norma yang kini sudah menjadi sekuler, invalid, rancu, tidak berpola dan tidak sistematis. UUD 45 harus diselamatkan, dikembalikan kepada kondisi yang jauh lebih baik dalam arti memperoleh kembali keunggulan-keunggulan UUD 45 Proklamasi serta menjadi lebih lengkap dan lebih sempurna melalui proses amandemen-ulang yang dilaksanakan dengan semangat yang benar, pola pikir yang benar dan cara yang benar.

          Demikian lima butir sasaran yang ingin digapai dengan penyelenggaraan GMP ini. Sebagai tumpuan dari GMP ini adalah suatu buku politik berjudul “Menuju Kejayaan Indonesia” yang penulis susun dalam tiga macam ketebalan: tebal (Juni, 2002), tipis (April, 2003) dan sangat tipis (Januari, 2008). Namun demikian penyebarluasannya secara terbuka kepada publik sengaja penulis tangguhkan dan baru dilakukan hari ini (dengan buku yang paling tipis sebagai ujung tombaknya). Penyebarluasannya sengaja ditunda hingga  saat yang dipandang tepat menunggu (sambil memberi kesempatan) hingga bangsa ini mempunyai cukup pengalaman dalam menjalani kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan dalam naungan UUD 45 yang sekuler, invalid, rancu, tidak berpola dan tidak sistematis, menjalani tatanan sosial politik yang serba liberal, nilai-nilai kehidupan yang sudah jungkir-balik, meningkatnya jumlah rakyat yang terdzalimi, menggeloranya semangat individualistis/semangat kelompok/semangat adu kuat diantara elite bangsa serta meningkatnya peringkat bangsa Indonesia ke papan atas dalam hal-hal yang memalukan diantara bangsa-bangsa di dunia.

          Akhirnya saya selaku penulis buku tentu saja hanya bisa menggulirkan GMP ini. Upaya mensukseskannya tentu menjadi tanggung jawab kita bersama. Inilah jalan lurus (dari segi politik dan agama) menuju Kejayaan Indonesia. Marilah kita berlomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat) menyelamatkan bangsa dan Negara Indonesia tercinta.

          Semoga ridho Allah SWT menyertai kita seluruh warga bangsa Indonesia. Amiin.


   Bandung, 02 September 2011
                                                                                    Wassalam



Sudjoko